UU NO 19 TENTANG
HAK CIPTA
Di
Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang
berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Berikut ini penjelasan
mengenai UU NO 19 secara gari besar :
Ketentuan
Umum (BAB I)
Pasal
1
Dalam
undang-undang ini yang dimasud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada
undang-undang ini juga dijelaskan mengenai pencipta (sesorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya menghasilkan ciptaan), ciptaan
( hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya), pemegang hak cipta
(pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari
pencipta), pengumuman akan hak cipta tersebut melalui berbagai media, serta
dibahas juga mengenai perbanyakkan yaitu penambahan jumlah suatu ciptaan &
hak terkait yaitu hak yang berkaitan dengan hak cipta adalah hak untuk
memperbanyak atau menyiarkan karya siarnya.
Pada
undang-undang ini juga dibahas mengenai program komputer adalah sekumpulan
instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk
lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-
fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan
dalam merancang instruksi- instruksi tersebut.
Hak
cipta yang dijelaskan pada pasal ini tidak hanya untuk pencipta yang meciptakan
sebuah inovasi, pelaku di dunia seni juga medapat perhatian dari pemerintah
makanya pada pasal ini terdapat aturan yang mengatur mereka. Tidak hanya pelaku
di dunia saja, produsen rekaman suara, lembaga penyiaran, kuasa, menteri, dan
direktorat jenderal juga diatur dalam ketentuan undang-undang ini.
Untuk
memperoleh hak cipta, seorang pencipta harus membuat permohonan pendaftaran
ciptaan yang diajukan ke Direktorat Jenderal. Selanjutnya pencipta akan
mendapat lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta untuk
mengumumkan/memperbanyak ciptaannya.
Lingkup Hak Cipta
(BAB II)
Pasal
2
Pada
bab ini dibagi menjadi beberapa bagian antara lain :
1.
Bagian Pertama
Pada
bagian ini terdiri dari pasal 2, pasal3, dan pasal 4 dimana pasal-pasal
tersebut membahas mengenai fungsi dan sifat hak cipta.
Pasal
2
Terdapat
2 ayat yaitu ayat pertama berisi hak cipta merupakan hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya. Sedangkan ayat kedua berisi Pencipta dan/atau Pemegang Hak
Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk
memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal
3
(1) Hak
Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
(2)
Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a.
Pewarisan;
b.
Hibah;
c.
Wasiat;
d.
Perjanjian tertulis; atau
e.
Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
4
(1)
Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal
dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta
tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan
hukum.
(2)
Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal
dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta
tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan
hukum.
2.
Bagian Kedua
Pada
bagian ini terdapat 5 pasal yaitu pasal 5, pasal 6, pasal
7, pasal 8, pasal 9 dimana pasal-pasal tersebut membahas pencipta.
Contohnya:
Pasal
5 : Menjelaskan kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap
sebagai pencipta yaitu orang yang telah mendaftar di direktorat jenderal atau
yang namanya disebut dalam ciptaan serta pada ceramah yang tidak menggunakan
bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan penciptanya.
Perlindungan
Hak Cipta
Untuk
perlindungan hak cipta diatur pada BAB II bagian ketiga dan keempat
3.
Bagian Ketiga
Pada
bagian ini terdapat 2 pasal yaitu Pasal 10 dan Pasal 11 yang mengatur hak cipta
atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui.
Pasal
10 :
(1)
Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda
budaya nasional lainnya.
(2)
Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi
milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3)
Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang
bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi
yang terkait dalam masalah tersebut.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
11 :
(1)
Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum
diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan
Penciptanya.
(2)
Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau
pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, penerbit memegang
Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(3)
Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya
dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.
4.
Bagian Keempat
Pada
bagian ini terdapat 2 pasal yaitu Pasal 12 dan Pasal 13 yang mengatur
Ciptaan yang dilindungi :
Pasal
12
(1) Dalam Undang- undang ini
Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak
Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak
atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata,
yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal
13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a. hasil rapat terbuka lembaga- lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
a. hasil rapat terbuka lembaga- lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Pembatasan
Hak Cipta
Pada
undang-undang hak cipta, mengenai pembatasan hak cipta diatur pada BAB II
Bagian Kelima yaitu terdiri dari pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, dan
pasal 18.
Pasal
14 dan 15 membahas tentang hal-hal yang tidak dianngap sebagai pelanggaran hak
cipta. Berikut ini isi dari pasal 14 dan 15.
Pasal
14
Tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecua li apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagia n dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecua li apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagia n dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pasal
15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata- mata untuk
tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para
tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang no nkomersial semata- mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang no nkomersial semata- mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Sedangkan
pada pasal 16 membahas mengenai kewajiban pemegang hak cipta untuk
menterjemahkan atau memperbanyak hasil ciptaannya di wilayah negara Republik
Indonesia. Berikut ini isi dari Pasal
16:
(1) Untuk kepentingan pendidikan,
ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar
pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:
a.) mewajibkan Pemegang Hak Cipta
untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut
di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b.) mewajibkan Pemegang Hak
Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang
bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.) menunjuk pihak lain untuk
melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang
Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban untuk menerjemahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra
selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban untuk memperbanyak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a.) 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu
belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b. ) 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak
di wilayah Negara Republik Indonesia;
c.) 7 (tujuh) tahun sejak
diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah
diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Penerjemahan atau Perbanyakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah
Negara lain.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang
besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan tentang tata cara
pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
Sedangkan untuk pasal 17 dan 18
menjelaskan tentang Pembatasan terhadap pengumuman suatu ciptaa. berikut ini
isi pasal 17 & 18.
Pasal
17
Pemerintah
melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta
ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal
18
(1)
Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan
nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan
tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan
kepeningan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta
diberikan imbalan yang layak.
(2)
Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata- mata untuk Lembaga Penyiaran itu
sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran
tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang
bersangkutan.
Prosedur
Pendaftaran HaKI
Di
Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta
atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak
ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun demikian,
surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan
apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai yang diatur
pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di
bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak
cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI.
Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2).
Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di
kantor maupun situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat
ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh
setiap orang tanpa dikenai biaya.
UU NO 36 Tentang Telekomunikasi
Ketentuan Umum
Pada
undang-undang no 36 tentang telekomunikasi, terdapat pada BAB I dan Pasal 1.
Pada bagian ini terdapat pengertian mengenai telekomunikasi,
telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,
suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik Iainnya.(ayat1)
Pada
bagian ini juga dijelaskan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan
telekomunikasi seperti alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, serta
sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa
pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio.Dalam telekomunikasi
dibutuhkan jaringan telekomunikasi yaitu rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi.(ayat 2-5)
Untuk
dapat melakukan telekomunikasi dengan baik dan lancar maka dibutuhkan beberapa
pihak, dalam undang-undang ini dijelaskan pihak-pihak tersebut yaitu jasa
telekomunikasi; penyelenggara telekomunikasi yang dapat terdiri
dari perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha
milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan
instansi pertahanan keamanan negara; pelanggan;pemakai;
pengguna(ayat7-11); serta menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.(ayat 17).
Azas dan Tujuan
Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang
no 36 BAB II pada pasal 2 dan pasal 3. Untuk azas telekomunikasi diatur
di pasal 2 sedangkan untuk tujuan telekomunikasi diatur di pasal 3.
Pasal
2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Asas
manfaat berarti
bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan
lebih berdaya guna dan berhasil guna. Asas
adil dan merata adalah
bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang
sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil- hasilnya dinikmati oleh
masyarakat secara adil dan merata. Asas
kepastian hukum berarti
bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus
didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum
dan memberikan perlindungan hukum. Asas
kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan
secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan
teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan
mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global. Asas
kemitraan mengandung
makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang
harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal
3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta
meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan
Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang
no 36 pada BAB IV pada pasal7, pasal 8, dan pasal 9.
Pasal
7 : Pada pasal ini menjelasakan mengenai penyelenggaraan
telekomunikasi secara umum. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi
: penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; penyelenggaraan jasa
telekomunikasi; penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Adapula yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi seperti melindungi kepentingan
dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan
global; dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan; peran serta masyarakat.
Pasal
8 & 9: Pada pasal ini menjelaskan tentang
penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan hukum yang didirikan
oleh peraturan perundang-undangan seperti BUMN, BUMD, dll dapat
menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Pada pasal ini juga dijelaskan mengenai
penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang dapat dilakukan
oleh perseoranga, instansi pemerintah, badan hukum selain
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi khusus
dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk : keperluan
sendiri, keperluan pertahanan keamanan negara, keperluan
penyiaran. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penyidikan
Hal ini diatur dalam undang-undang
no 36 BAB V pada Pasal 44 yaitu
(1)
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen yang Iingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
i. mengadakan penghentian penyidik
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
i. mengadakan penghentian penyidik
(3)
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diiaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana
Sanksi
Administrasi
Hal
ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB VI pada pasal 45 & 46. Ada
dua belas ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi
administratif berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis(pasal46). Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi
administratif itu adalah terhadap:(pasal 45)
- setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan
- penyelenggara
telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan
pengguna;
- penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih
jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
- penyelenggara
telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan,
keamanan, atau ketertiban umum;
- penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi apabila
diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
- penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang
tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari
prosesntase pendapatan;
- penyelenggara
telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan
keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya;
- penyelenggara
telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan
telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak
digunakan untuk keperluan penyiaran;
- pengguna
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin dari
Pemerintah;
- pengguna
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan yang saling menggaggu.
-
pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan
frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita
frekuensi;
- pengguna
orbit satelit yang tidak membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Ketentuan Pidana
Hal
ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB VII pada pasal 47-59.
Pasal
47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
51
Penyelenggara
komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal
52
Barang
siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
53
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal
55
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat
dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara
dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
59
Perbuataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal
52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
UU tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)
(Peraturan
Bank Indonesia tentang internet banking)
Internet
banking merupakan layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi
pihak bank sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi
melalui media layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan
saja. Melalui internet banking, layanan konvensional bank yang komplek
dapat ditawarkan relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah. Internet
banking menjadi salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan
modern dan bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking,
keuntungan (profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar
dan luas. Internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada
layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko operasional
termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko pasar dan
resiko likuiditas. Oleh sebab itu, Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas
kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.
9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi
Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang menggunakan Teknologi Informasi
khususnya internet banking dapat meminimalisir resiko-resiko yang
timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga mendapatkan manfaat
yang maksimal dari internet banking.
Upaya
yang dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet
fraud di perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan
perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat
Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan
manajemen risiko dalam aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal
nasabah/Know Your Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya
dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan
transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
referensi :
http://pyia.wordpress.com/2012/05/05/peraturan-dan-regulasi-ii-uu-hak-cipta-komunikasi-dan-uuite/